Kamis, 18 Agustus 2011

Story of Islam 20


ABU ABDILLAH AL-QALANISI Dan Seekor Gajah

Abu Abdillah al-Qalanisi dalam sebuah perjalanannya dengan mengendarai perahu. Tiba-tiba angin kencang menggoncangkan perahu yang ditumpanginya. Seluruh penumpang berdoa dengan khusyu' demi keselamatan mereka dan mengucapkan sebuah nadzar.

Para penumpang berkata kepada Abu Abdillah, "Masing-masing kami telah berjanji kepada Allah dan bernadzar agar Allah SWT menyelamatkan kami. Maka hendaknya kamu juga bernadzar dan bersumpah kepada Allah." Dia menjawab, "Aku ini orang yang tidak perduli dengan dunia, aku tidak perlu bernadzar."

Tetapi mereka memaksaku. Lalu aku bersumpah, "Demi Allah, sekiranya Allah SWT menyelamatkanku dari musibah yang menimpaku maka aku tidak akan makan daging gajah."

Mereka bertanya, "Apakah boleh bernadzar seperti itu? Apakah ada orang yang mau makan daging gajah.?" Aku menjawab, "Itulah pilihanku, semoga Allah memberi ganjaran atas lisanku yang mengucapkan kata-kata itu."

Benar, tidak lama kemudian kapal itu pecah. Para penumpang terdampar di sebuah pantai. Berhari-hari kami berada di pantai tersebut tanpa makan sesuatu pun.

Ketika kami sedang duduk-duduk beristirahat, ada anak gajah lewat di depan kami. Mereka menangkap anak gajah tersebut, menyembelih lalu memakannya. Mereka menawariku makan seperti mereka. Aku menjawab, "Aku telah bernadzar dan bersumpah kepada Allah untuk tidak makan daging gajah."

Mereka mengajukan alasan, bahwa aku dalam keadaan terpaksa, sehingga dibolehkan untuk membatalkannya. Aku menolak alasan mereka, aku tetap memenuhi sumpahku. Setelah makan, mereka merasa kenyang lalu tidur.

Pada saat mereka tidur, induk gajah datang mencari anaknya, ia berjalan mengikuti jejak anaknya sambil mengendus-endus. Hingga akhirnya ia menemukan potongan tulang anaknya.

Induk gajah itu pun sampai di tempat istirahat kami, aku memperhatikannya. Satu orang demi satu orang dia ciumi, setiap kali ia mencium bau daging anaknya pada orang itu, maka orang itu diinjak dengan kaki atau tangannya sampai mati. Kini mereka semua telah mati.

Tiba saatnya induk gajah mendekatiku, ia menciumku tapi tidak mendapatkan bau daging anaknya pada diriku. Lalu ia menggerakkan tubuh bagian belakangnya, ia memberi isyarat, kemudian mengangkat ekor dan kakinya.

Dari gerakan tubuh gajah itu aku mengerti bahwa ia menghendaki agar aku menungganginya. Lalu aku naik, duduk di atasnya. Ia memberi isyarat agar aku duduk dengan tenang di atas punggungnya yang empuk. Ia membawaku berlari kencang sehingga malam itu juga aku tiba di sebuah perkebunan yang banyak pepohonan. Ia memberi isyarat agar aku turun dengan bantuan kakinya, maka aku pun turun. Kemudian ia berlari lebih kencang dari pada saat ia membawaku tadi.

Di pagi hari, aku menyaksikan di sekilingku hamparan sawah, perkebunan dan sekelompok orang. Orang-orang tersebut membawaku ke rumah kepala suku. Juru bicara suku itu memintaku berbicara. Kemudian aku ceritakan tentang diriku dan kejadian yang dialami sekelompok orang dan rombongan dalam perahuku.

Juru bicara itu bertanya kepadaku, "Tahukah kamu berapa jauh jarak perjalananmu dengan seekor gajah itu.?" Aku jawab, "Tidak tahu!" Ia menjawab, "Sejauh perjalanan selama 8 hari! Sementara Gajah itu membawamu lari hanya dalam satu malam."

Selanjutnya aku diperkenankan tinggal bersama mereka di desa tersebut sehingga aku mendapat pekerjaan. Setelah itu aku pulang ke kampungku.

Story of Islam 19


SYAIBAN AR-RA'I
(Mengelus Telinga Seekor Singa)

Sufyan ats-Tsauri berkata, "Pada waktu itu aku pergi haji bersama Syaiban ar-Ra'i. Dan ketika kami sampai di sebuah jalan tiba-tiba kami berpapasan dengan seekor singa. Aku berkata kepada Syaiban, 'Tidakkah kamu melihat binatang buas ini? Dia telah menghadang kita!'

Syaiban menjawabku, 'Jangan takut wahai Sufyan!' Lalu ia memanggil singa itu dan memegang ekornya. Kemudian singa itu menggerak-gerakkan ekornya seperti anjing. Syaiban meme-gang telinga singa tersebut lalu mengelus-elusnya.

Seketika itu aku berkata, 'Untuk apa kamu pamer semacam ini?' Ia menjawab, 'Wahai Sufyan, pamer mana yang kamu pertanyakan? Kalau bukan karena aku benci pamer tentu aku tidak akan membawa bekal perjalananku ini ke Mekkah kecuali di atas punggung singa ini'."


Kisah Seseorang Yang Keledainya Dihidupkan Kembali Oleh Allah

Dari Abu Sabrah an-Nakha’i berkata, "Seorang lelaki dari wilayah Yaman pergi menuju suatu tempat. Tiba-tiba di tengah perjalanan keledainya mati. Lalu ia bangkit untuk mengambil air untuk berwudhu, shalat dua rakaat kemudian berdoa, 'Ya Allah, aku datang ke tempat ini dari daerah Dafinah – Nama suatu tempat- untuk berjihad di jalanMu dan mencari ridhaMu. Aku bersaksi bahwa Engkaulah yang maha menghidupkan makhluk yang telah mati, yang membangkitkan orang-orang dari kubur, jangan Engkau berikan karunia kepada seorang pun di hari ini, karena pada hari ini aku mohon kepadaMu untuk menghidupkan keledaiku.'

Seketika saja keledai itu bangun sambil mengibas-ngibaskan kedua telinganya.

Ibnu Abi ad-Duniya menyebutkan kisah ini dari riwayat lain dalam kitab Man ‘Asya Ba’dal Maut, bahwa orang tersebut segera meletakkan pelana di atas punggung keledainya dan menung-ganginya untuk menyusul teman-temannya. Ketika bertemu, mereka bertanya, "Apa yang terjadi denganmu?" Ia menjawab, "Allah telah menghidupkan kembali keledaiku." Asy-Sya’bi berkata, "Aku pernah melihat keledai tersebut di jual di Kufah."

Stori of Islam 20


ABU SULAIMAN AD-DARANI 
(Selayaknya Aku Menangis)

Ahmad bin Abu al-Hawari berkata, "Ketika aku menemui Abu Sulaiman ad-Darani, ia sedang menangis."

Kemudian aku bertanya, "Saudaraku, apa yang membuatmu menangis?"

Dia menjawab, "Wahai Ahmad, Ahlul mahabbah (orang-orang yang saling mencintai), jika hari menjelang malam, ia mulai membentangkan telapak kaki mereka (berdiri mengerjakan shalat), air mata mereka membasahi pipi pada saat ruku' dan sujud. Ketika itu Allah q menyaksikan mereka dan memanggil, 'Wahai Jibril, berdasarkan penglihatanku, siapakah yang sedang membaca firman-firmanKu dengan penuh kenikmatan itu dan kemudian istirahat untuk bermunajat kepadaKu? Sesungguhnya Aku mengawasi mereka, mendengar perkataan, keluhan, kerin-duan dan tangis mereka! Panggillah dan tanyakan kepada mereka, 'Mengapa mereka berputus asa sebagaimana yang Aku lihat, apakah telah datang seseorang kepada kalian yang menyampaikan berita bahwa seorang kekasih akan menyiksa kekasihnya dalam bara api? Jika perbuatan kejam seperti itu, tidak pantas dilakukan oleh seorang manusia yang hina terhadap kekasihnya, maka apakah layak sekiranya dilakukan oleh Allah Yang Maha memiliki segala sesuatu dan Mahamulia?! Maka demi kemuliaanKu, aku bersumpah, sungguh aku akan memberi hadiah kepada mereka, ketika menemuiku pada hari Kiamat kelak yakni akan aku singkapkan WajahKu yang mulia di ha-dapan mereka, aku melihat mereka, demikian pula mereka dapat memandangKu langsung.'

Wahai Ahmad, jika kejadiannya seperti itu, apakah engkau masih akan mencelaku ketika aku menangisi keterlambatanku dari rombongan Ahlul mahabbah tersebut?"

TANGISAN BILAL BIN RABAH RHU, MUAZIN RASULULLAH SAW

Jika nama Abu Bakar disebut, Al-Faruq Umar bin al-Khath-thab rhu berkata, "Abu Bakar adalah tuan kami, dan dia mem-bebaskan tuan kami." Yakni Bilal. Orang yang disebut Umar sebagai "tuan kami" adalah benar-benar orang yang mulia dan mempunyai kedudukan yang agung.

Ia adalah mu'adzin Rasulullah saw. Ia adalah hamba yang disiksa oleh tuannya dengan batu yang telah dipanaskan un-tuk memurtadkannya dari agamanya, tapi ia berkata, "Ahad, Ahad (Allah Yang Esa)."

Ia hidup sebagai hamba sahaya, hari-harinya berlalu tanpa beda dan buruk. Ia tidak punya hak pada hari ini, dan tidak punya harapan pada esok hari. Seringkali ia mendengar tuan-nya, Umayyah, berbicara bersama kawan-kawannya pada suatu waktu dan para anggota kabilah di waktu lain tentang Rasulul-lah saw, dengan pembicaraan yang meluapkan amarah dan ke-dengkian yang sangat.

Pada suatu hari Bilal bin Rabah mengetahui cahaya Allah, lalu ia pergi menemui Rasulullah a dan mengikrarkan keisla-mannya. Setelah itu ia menghadapi berbagai macam penyiksaan, tapi ia tetap tegar bagai gunung. Ia diletakkan dalam keadaan telanjang di atas bara api. Mereka membawanya keluar pada siang hari ke padang pasir, dan mencampakkannya di atas pasir-pasir yang panas dalam keadaan tak berbaju. Kemudian mereka membawa batu yang telah dipanaskan yang diangkut dari tem-patnya oleh sejumlah orang dan meletakkannya di atas tubuh dan dadanya. Siksa demi siksa berulang-ulang setiap hari, tapi ia tetap tegar. Hati sebagian penyiksanya menjadi lunak seraya berkata, "Sebutlah Lata dan Uzza dengan baik." Mereka me-nyuruhnya supaya memohon kepadanya tapi Bilal menolak untuk mengucapkannya, dan sebagai gantinya ia mengucapkan senandung abadinya, "Ahad, Ahad".

Abu Bakar ash-Shiddiq rhu datang pada saat mereka menyik-sanya, dan meneriaki mereka dengan ucapan, "Apakah kalian membunuh seseorang karena berucap, 'Rabbku adalah Allah?'." Abu Bakar meminta kepada mereka untuk menjualnya kepada-nya. Umayyah memang berkeinginan untuk menjualnya. Akhir-nya Abu Bakar rhu membelinya dengan harga yang berlipat ganda dari Umayyah. Setelah itu dia membebaskannya, dan Bilal mulai menjalani kehidupannya di tengah-tengah orang-orang mer-deka... para sahabat yang taat lagi berbakti. Ketika Abu Bakar y memegang tangan Bilal untuk membawanya, maka Umayyah berkata kepadanya, "Ambillah! Demi Lata dan Uzza, seandainya kamu menolak kecuali membelinya dengan satu uqiyah, niscaya aku menjualnya kepadamu dengan harga itu." Abu Bakar rhu menjawab, "Demi Allah, seandainya kamu menolak kecuali seharga seratus uqiyah, niscaya aku membayarnya."

Setelah Rasulullah saw hijrah ke Madinah, Rasulullah saw me-nyariatkan adzan untuk shalat, dan pilihan jatuh pada Bilal sebagai mu'adzin pertama untuk shalat. Ini pilihan Rasulullah saw. Bilal pun melantunkan suaranya yang menyejukkan dan menggembirakan, yang memenuhi hati dengan iman, dan pen-dengaran dengan keindahan. Ia menyeru, "Allahu Akbar, Allahu Akbar" dan seterusnya. Ketika datang perang Badar, dan Allah menyampaikan urusannya, Umayyah keluar untuk berperang... Dan ia jatuh tersungkur dalam keadaan mati di tangan Bilal rhu.

Pemimpin kekafiran mati tertusuk oleh pedang-pedang Islam sebagai balasan buat Bilal yang berteriak setelah terbunuh-nya, "Ahad, Ahad." Hari-hari berlalu, Makkah ditaklukkan, dan Rasulullah saw masuk Makkah dengan ditemani Bilal. Kebenaran telah datang, dan kebatilan telah sirna. Bilal mengikuti semua peperangan bersama Rasul saw dan mengumandangkan adzan untuk shalat. Ia terus menjaga syiar agama yang agung ini. Sampai-sampai Rasul saw menyifatinya sebagai "seorang pria ahli surga". Dan Rasul saw berpulang ke haribaan Allah dalam keadaan ridha lagi diridhai. Sepeninggal beliau, sahabatnya dan khalifahnya, Abu Bakar ash-Shiddiq rhu bangkit memim-pin urusan kaum muslimin. Bilal pergi menemui ash-Shiddiq seraya berkata kepadanya, "Wahai Khalifah Rasulullah, aku mendengar Rasulullah saw bersabda,

أَفْضَلُ عَمَلِ اْلمُؤْمِنِ اَلْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ
'Amalan mukmin yang paling utama ialah berjihad di jalan Allah'."*

Abu Bakar bertanya kepadanya, "Apakah yang engkau kehendaki, wahai Bilal?" Ia menjawab, "Aku ingin murabathah (siap siaga berperang) di jalan Allah hingga aku mati." Abu Bakar bertanya, "Lantas siapa yang mengumandangkan adzan untuk kami?!"

Bilal berkata, sementara kedua matanya mengalirkan air mata, "Sesungguhnya aku tidak mengumandangkan adzan untuk seorang pun sepeninggal Rasulullah saw." Abu Bakar ber-kata, "Tetaplah mengumandangkan adzan untuk kami, wahai Bilal." Bilal berkata, "Jika engkau memerdekakan aku agar aku menjadi milikmu, lakukan apa yang engkau suka. Jika engkau memerdekakan aku karena Allah, biarkanlah aku berikut pem-bebasan yang kau berikan kepadaku." Abu Bakar berkata, "Aku memerdekakanmu karena Allah, ya Bilal."

Bilal kemudian melakukan perjalanan ke Syam yang di sana ia terus menjadi mujahid dan selalu siap sedia untuk berjihad. Konon, ia berkali-kali datang ke Madinah dari waktu ke waktu ... tapi ia tidak mampu mengumandangkan adzan. Hal itu karena setiap kali hendak mengucapkan, "Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah" (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah), kenangan-kenangan masa lalu menahan dirinya, lalu suaranya tersembunyi di kerongkongannya, dan sebagai gantinya air matanyalah yang meneriakkan kata-kata itu.**

Akhir adzan yang dikumandangkannya ialah pada saat Khalifah al-Faruq Umar bin al-Khaththab y mengunjungi Syam. Kaum muslimin meminta Khalifah membawa Bilal agar mengu-mandangkan adzan untuk shalat mereka. Amirul Mu'minin memanggil Bilal, sementara waktu shalat telah tiba. Umar ber-harap kepadanya agar mengumandangkan adzan untuk shalat. Bilal pun naik dan mengumandangkan adzan... maka menangis-lah para sahabat yang pernah bersama Rasulullah saw ketika Bilal mengumandangkan adzan untuk beliau. Mereka menangis seakan-akan mereka tidak pernah menangis sebelumnya, selamanya.

Bilal meninggal di Syam dalam keadaan bersiap siaga di jalan Allah, sebagaimana yang dikehendakinya. Semoga Allah meridhainya dan menjadikannya ridha kepadaNya.